JAKARTA, ELANGBALI.ID — Suasana rapat kerja Komisi IV DPR RI mendadak menghangat ketika Ketua Komisi IV, Siti Hediati Hariyadi atau yang akrab disapa Titiek Soeharto, melontarkan pernyataan keras terkait maraknya kerusakan hutan dan lemahnya penegakan hukum di sektor kehutanan.
Di hadapan Menteri Kehutanan Raia Juli Antoni, Titiek mengungkapkan kegelisahan publik terhadap praktik perusakan lingkungan yang diduga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar yang kerap berlindung di balik kekuatan politik ataupun dukungan para jenderal berbintang.
Dengan suara tegas yang memecah ruang sidang, Titiek berkata:
> “Perusak lingkungan harus ditindak. Nggak usah takut ada bintang dua, bintang tiga di belakangnya!”
Pernyataan itu menggema, seolah menjadi simbol kemarahan masyarakat terhadap kerusakan hutan yang terus terjadi tanpa akhir.
Menurut Titiek, terlalu banyak kasus pembalakan liar, penerbitan izin bermasalah, hingga praktik land grabbing yang berkedok investasi, namun sanksi hukum yang diberikan masih jauh dari kata maksimal. Ia menegaskan bahwa hukum tidak boleh tunduk pada pangkat, jabatan, atau kekuatan modal.
Ia menambahkan bahwa tidak sedikit informasi yang masuk ke Komisi IV mengenai perusahaan-perusahaan yang diduga melakukan eksploitasi berlebihan terhadap kawasan hutan, tetapi proses hukumnya berjalan lambat ketika muncul nama-nama besar di belakangnya. Kondisi inilah yang menurutnya harus dihentikan.
Titiek menyampaikan bahwa negara tidak boleh kalah dari kepentingan korporasi maupun kekuasaan. Ia menegaskan bahwa Menteri Kehutanan memegang peran vital dalam memastikan penindakan berjalan tanpa intervensi siapa pun.
“Kita bicara soal hutan yang menjadi paru-paru bangsa. Kalau penegakan hukumnya tidak tegas, ke depannya generasi kita yang menanggung akibatnya,” ujarnya.
Pernyataan tersebut seketika menarik perhatian publik karena menyentuh inti persoalan yang selama ini dianggap tabu: adanya dugaan bayang-bayang kekuatan militer maupun elit politik dalam kasus perusakan hutan.
Titiek Soeharto berdiri pada posisi yang jarang disuarakan secara terbuka: bahwa negara harus hadir tanpa kompromi ketika berhadapan dengan kejahatan lingkungan. Tidak boleh ada perusahaan yang merasa kebal hukum hanya karena memiliki dukungan dari “bintang dua atau bintang tiga”.
Ia mendesak Kementerian Kehutanan untuk:
melakukan audit terhadap perusahaan-perusahaan pemegang izin yang memiliki rekam jejak kerusakan,
menindak tegas tanpa memandang latar belakang pemilik,
dan memastikan seluruh proses penegakan hukum dilakukan secara transparan.
Pernyataan keras Titiek Soeharto ini menjadi angin segar bagi aktivis lingkungan yang selama ini menilai negara terlalu sering setengah hati menghadapi kejahatan kehutanan. Banyak pihak menilai, pernyataan tersebut dapat menjadi momentum untuk membongkar jaringan pelindung di balik pelaku perusakan hutan.
Kini, semua mata tertuju pada Menteri Kehutanan:
Akankah ia berani menindak tegas para perusak lingkungan, meski di belakangnya ada nama besar dan pangkat tinggi.
Satu hal yang pasti — desakan Titiek mengirim pesan bahwa publik tidak lagi menerima alasan, dan hukum harus berjalan tanpa kompromi untuk menyelamatkan lingkungan Indonesia dari kehancuran.
( dd )
Tinggalkan Balasan