Surakarta, 30 Juni 2025 — Ketua Umum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pangeran Sambernyawa, siang ini melakukan investigasi lanjutan terkait pembongkaran Ndalem Tumenggungan, sebuah bangunan cagar budaya yang berada di kawasan Taman Putra Mangkunegaran, Surakarta.
Investigasi ini menyoroti proses konservasi yang dinilai menyalahi prosedur karena dilakukan tanpa izin resmi, serta tindakan pembongkaran total terhadap bangunan yang seharusnya dilestarikan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, konservasi harus dilakukan secara menyeluruh dan menyelamatkan keaslian fisik serta nilai sejarah, bukan dengan cara merobohkan.
Ketua Umum LSM Pangeran Sambernyawa menyambangi Dinas Kebudayaan Kota Surakarta untuk mengkonfirmasi legalitas proses tersebut. Dinas Kebudayaan yang diwakili oleh pejabat bernama Komo, menyatakan bahwa pihaknya tidak pernah mengeluarkan rekomendasi apa pun terkait pembangunan kembali Ndalem Tumenggungan.
“Dinas Kebudayaan menyatakan mereka tidak mengeluarkan surat rekomendasi konservasi atau pembangunan kembali. Mereka bahkan menyarankan kami untuk menindaklanjuti ke Dinas PUPR,” terang Ketua Umum LSM.
Setelah itu, investigasi dilanjutkan ke Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Surakarta. Di sana, staf atas nama Dita menyebut bahwa proses pengajuan PBG (Persetujuan Bangunan Gedung) dan/atau PBB telah disetujui dan hanya tinggal menunggu pembayaran retribusi.
“Ini jelas bentuk pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Cagar Budaya. Jika PUPR benar-benar menerbitkan PBG atas lokasi yang sudah nyata merupakan kawasan cagar budaya dan bahkan telah dirobohkan tanpa izin, maka PUPR turut mentolerir dan melegitimasi pelanggaran hukum,” tegasnya.
LSM Pangeran Sambernyawa juga mempertanyakan dasar rekomendasi dari Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah X, jika memang lembaga tersebut telah mengeluarkan dokumen yang menjadi dasar PUPR menyetujui PBG.
“Jika BPK Wilayah X benar memberikan rekomendasi, kami ingin tahu dasarnya apa. Mengkonservasi bukan berarti menghancurkan total lalu membangun ulang. Itu menyimpang dari kaidah konservasi yang sesungguhnya, ini sudah pada tahap menghilangkan fakta sejarah,” ujar Ketua LSM.
LSM Pangeran Sambernyawa menegaskan bahwa tindakan ini bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga membahayakan tata kelola pelestarian budaya di Kota Surakarta. Jika pelanggaran ini dibiarkan, maka akan menjadi preseden buruk bahwa pelanggaran terhadap cagar budaya bisa dimaklumi, bahkan dilegalkan.
“Jika benar PBG ini tetap diterbitkan, maka kami tidak segan untuk melaporkan pemilik bangunan, pihak konsultan, BPK Wilayah X, dan PUPR Kota Surakarta ke pihak berwajib. Ini adalah bentuk pelanggaran terstruktur terhadap hukum nasional,” tegasnya.
Risiko dan Konsekuensi:
1. Risiko Hukum:
Para pemangku kepentingan dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan UU No. 11 Tahun 2010 Pasal 105 dan 106, yang mengatur hukuman penjara dan denda bagi pihak yang merusak atau menghancurkan cagar budaya.
2. Risiko Administratif:
Dinas teknis yang menerbitkan perizinan tanpa proses legal yang sah berpotensi mendapat sanksi administratif dari Kementerian terkait, termasuk pemanggilan dan audit proses perizinan.
3. Risiko Sosial dan Reputasi:
Skandal ini dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah dan lembaga pelestarian budaya. Surakarta sebagai Kota Budaya akan tercoreng citranya di mata nasional dan internasional.
4. Preseden Negatif:
Tindakan ini bisa menjadi contoh buruk bahwa pemilik bangunan cagar budaya lainnya bisa melakukan hal serupa, sehingga mempercepat degradasi warisan budaya bangsa.
LSM Pangeran Sambernyawa menyerukan semua pihak untuk menghentikan proses yang sedang berjalan dan mengkaji ulang seluruh aspek hukum serta etika dalam proyek Ndalem Tumenggungan. Pelestarian budaya bukan hanya soal bangunan, melainkan komitmen terhadap sejarah, identitas, dan hukum negara.(Tim:Red)
Tinggalkan Balasan